Tuesday, October 15, 2013

Hablu Minna Allah wa Hablu Minn an Naas: Puasa sebagai Wujud Relasi Vertikal dan Horizontal Manusia



Pendahuluan
Jika mendengar kata ‘puasa’ apa yang terlintas di dalam benak anda? Sebuah kegiatan keagamaan yang mewajibkan penganutnya untuk menjauhkan diri dari makanan, minuman, dan kebutuhan biologis lainnya? Salah satu moment, khususnya di Indonesia, yang mampu menerbangkan harga-harga kebutuhan pokok ke langit sehingga sulit dicapai? Masa di mana orang-orang menyantap makanan di balik tirai penutup milik restororan-restoran sebelum matahari terbenam? Apapun jawaban anda, baik yang senada dengan pilihan-pilihan yang penulis sediakan di atas maupun tidak, tentu saja tidak dapat dipersalahkan tetapi juga tidak dapat dibenarkan begitu saja.
Namun demikian, benarkah puasa yang dipahami oleh Islam hanya sebatas pada jawaban-jawaban itu? Apakah tujuan Allah memerintahkan puasa dilakukan oleh umat-Nya hanya dengan tujuan dangkal seperti itu? Frederick M. Deny, seorang Islamolog dari Universitas Colorado, menyatakan bahwa Islam merupakan sebuah agama yang bercorak orthopraksis karena tidak hanya menekankan pada aspek-aspek ketuhanan semata, tetapi juga menekankan pada keseimbangan antara hubungan dengan Allah dan manusia (Dzuhayatin 2000). Oleh karena itu, puasa pastilah memiliki makna dan tujuan yang luhur sehingga diwajibkan untuk dilaksanakan. Tulisan ini disusun dengan kerinduan untuk mendalami dan memaknai ulang puasa dalam konsep Islam. Harapan penulis adalah menemukan makna luhur dari penggalian studi pustakanya, sehingga makna itu dapat dijadikan jawaban yang tepat tanpa menyalahi ajaran agama ini tentang puasa.

Puasa dalam agama-agama
Kata ‘puasa’ berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu ‘upawasa’. Arti dari kata ini adalah ‘menahan diri’. Puasa merupakan kegiatan keagamaan paling tua yang dilakukan oleh manusia. Jauh sebelum Islam lahir, praktek semacam ini dapat dijumpai dalam agama-agama kuno hampir di seluruh dunia. Kaum Sabean dan Manu, dua kelompok keagamaan kuno di Timur Tengah berpuasa dengan menjauhkan diri dari jenis makanan dan minuman tertentu. Hal serupa juga dilakukan pula oleh orang-orang Kristen Timur di Asia Barat dan Mesir. Mereka dilarang mengonsumsi daging hewan dan olahannya selama Pekan Suci sebelum Paska (Majid 1995).
Berbeda dengan model-model puasa di atas, beberapa agama tidak melarang penganutnya untuk minum ketika menjalankan puasa, bahkan terdapat juga agama yang tidak mengajarkan kegiatan ini. Dalam Injil disebutkan bahwa Yesus Kristus melakukan puasa selama 40 hari di gurun pasir. Menurut para ahli, ia tetap harus makan dan minum untuk menghindarkan dirinya dari dehidrasi yang berpotensi besar terjadi di cuaca ekstrim gurun. Namun, makan dan minum dalam kondisi ini dilakukan dalam jumlah terbatas atau secukupnya, bukan berlebihan. Buddhisme dan Protestantisme adalah agama yang tidak mengajarkan penganutnya untuk berpuasa. Buddhisme hanya melarang penganutnya untuk tidak makan berlebihan. Bahkan, para biksu hanya diperbolehkan makan sekali dalam sehari. Sedangkan, Protestantisme menghapuskan tradisi berpuasa sejak Reformasi sebagai tanggapan kritis terhadap kebiasaan orang Katolik yang berpesta seminggu penuh dengan makan-minum sebanyak mungkin dan tidak bekerja sebelum memasuki masa puasa 40 hari sebelum Paska (Doorn-Harder 2000).

Puasa dalam Islam
Puasa merupakan rukun ke-4 yang diwajibkan untuk dilakukan oleh Mu’min atau penganut Islam. Dalam Surat Al-Baqarah (2:186) disebutkan bahwa orang-orang beriman, yaitu kaum Mu’min, diwajibkan berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum mereka agar bertaqwa. Ketika menjalankan ibadah ini, mu’min haruslah menahan nafsu dan  menjauhkan diri dari makanan, minuman, hubungan seksual, dan berbuat yang jahat, baik itu melihat, mendengar, membicarakan, maupun mencium (Gazalba 1985).
Larangan untuk menikmati hal-hal yang telah disebutkan di atas selama beberapa waktu didasarkan pada rukun puasa. Rukun itu terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 187 yang berbunyi demikian, ”... dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa itu sampai malam, tetapi janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” (Gazalba 1985).
Para pelaksana puasa dalam Islam adalah setiap orang Islam dewasa, baik perempuan maupun pria, yang telah melewati akil baligh, sehat jasmani, berakal atau tidak mengalami gangguan jiwa, dan tidak tengah melakukan perjalanan jauh yang melelahkan. Sebagai catatan, bagi mu’min yang sedang mengalami menstruasi, sakit, atau tengah melakukan perjalanan jauh dipantangkan untuk berpuasa. Mereka dapat melakukannya pada hari-hari lain untuk menggantikan waktu yang telah lewat ketika kondisi telah memungkinkan (Gazalba 1985).
Selama berpuasa sejak subuh hingga maghrib, Mu’min melakukan kegiatan-kegiatan agama yang lain. Pada malam pertama bulan Ramadhan, mereka meniatkan akan berpuasa esok harinya. Menjelang waktu subuh, makanan dan minuman disantap sebagai “modal” bagi tubuh untuk bertahan tanpa kedua hal itu selama lebih dari 12 jam. Setelah salat Subuh, pembacaan Al-quran dilakukan sekuat kesanggupan. Al-quran kembali dibaca setelah salat Dzuhur dan Asar. Ibadah terakhir adalah berbuka puasa dan melaksanakan salat Tarawih (Gazalba 1985).
Terdapat berbagai macam puasa di dalam ajaran Islam. Macam ini dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu ‘puasa wajib’ dan ‘puasa sunnah’ (Gazalba 1985). Macam puasa yang dikelompokkan ke dalam jenis wajib adalah fardhu yang dijalankan di bulan Ramadhan, qadha yang dilakukan pada waktu lain karena telah tidak berpuasa di Bulan Suci, nazar yang dijalankan karena janji untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan kaffarat atau puasa yang harus dilakukan karena melanggar Hukum Islam. Sedangkan puasa di 6 hari Syawal, di hari Arafah, asy-Syura, di pertengahan bulan Sya’ban, di hari Senin dan Kamis, di tanggal-tanggal bulan purnama, dan model Nabi Daud dikelompokkan ke dalam puasa sunnah (Dzuhayatin 2000).

Hablu minna Allah
Seperti yang telah disinggung pada bagian pendahuluan bahwa puasa, sebagai salah satu ibadah dalam Islam yang otrhopraksis itu, pastilah memiliki makna dalam hubungan secara pribadi antara yang menjalankan dengan Allah dan antara yang menjalankan dengan sesamanya manusia. Pada bagian ini akan diperlihatkan penemuan penulis akan makna luhur puasa dalam hubungan antara yang melaksanakan dengan Allah. Dalam sebuah Hadits Qudsi disebutkan bahwa semua amal seorang manusia adalah untuk dirinya sendiri, kecuali puasa, sebab puasa itu adalah untuk Allah. Ia yang akan memberikan pahala (Majid 1995).
Berdasarkan hadits tersebut, puasa dipahami sebagai ibadah yang sifatnya privat. Tidak ada orang lain yang mengetahui dengan pasti apakah sesamanya tengah berpuasa atau tidak. Kalau pun orang lain mengetahui, batas pengetahuan itu tidak mencakup apakah ibadah tersebut dilaksanakan dengan keikhlasan dalam hati atau tidak. Dengan kata lain, seperti yang dikatakan oleh Nurcolish Majid, puasa sejati dan yang palsu hanyalah dibedakan oleh seteguk air yang diminum oleh seseorang yang tengah berpuasa ketika ia sendirian (Majid 1995).
Implikasi dari hubungan pribadi ini adalah kesadaran bahwa Allah itu adalah Tuhan yang Maha Hadir. Ia tidak pernah lengah sedikit pun dalam pengawasan terhadap hamba-Nya. Kesadaran seperti ini akan menuntun mu’min yang menjalankan puasa kepada ketaqwaan kepada Allah dalam setiap hela nafasnya. Ia akan bertindak dalam keadaan apapun dengan penuh kehati-hatian dan kesungguhan karena menyadari setiap perbuatan itu akan dipertanggungjawabkan secara pribadi di depan pengadilan-Nya ketika Hari Kiamat tiba (Majid 1995).
Berbeda dengan penafsiran Majid, di dalam bukunya yang berjudul Tuhan pun Berpuasa, Emha Ainun Najib menekankan bahwa hubungan pribadi antara mu’min yang berpuasa dengan Allah juga meliputi soal penguasaan diri. Puasa melatih manusia untuk bermental baja dalam menahan godaan karena masih banyak hal luhur dalam hidup ini daripada sekadar makanan, minuman, dan seks yang harus dicapai manusia. Dengan kata lain, ibadah ini melatih yang menjalankannya untuk dapat menaklukkan kesenangan yang sering kali menjerumuskan manusia kepada dosa dan penyesalan (Najib 1997).

Hablu minn an Naas
Puasa diikuti oleh anjuran untuk berbuat baik sebanyak mungkin kepada sesama manusia. Hal ini terlihat dalam pemberian sedekah, zakat ,dan infaq. Ketiga jenis pemberian ini diperuntukkan bagi fakir miskin dan yang berada dalam kehidupan hidup[1], mereka yang terbeban karena hutang dan yang terlantar dalam perjalanan. Ini adalah sebuah tindakan solidaritas sosial yang bertujuan untuk meringankan beban hidup mereka dan kaum marjinal ini dapat mencicipi sedikit kenikmatan dan kebahagian yang tengah dirasakan sesamanya yang berpuasa dan berhari raya Idul Fitri dalam kelebihan (Majid 1995).
Lebih jauh daripada itu, Najib memaknai puasa sebagai metode untuk belajar menyukai suatu hal yang sebenarnya tidak manusia suka untuk lakukan. Bukankah manusia tidak suka bila ia dibatasi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, misalnya makan, minum, berhubungan seks, dll? Apakah manusia rela hati membagikan hasil keringatnya yang didapatkan dengan berjerih lelah kepada sesamanya yang membutuhkan? Kalau manusia hanya melakukan hal-hal yang ia senangi, maka kewajiban-kewajiban sosial semacam itu sangat kecil kemungkinannya untuk dilakukan. Dengan demikian, puasa merupakan cara Allah untuk mendorong manusia menatalayani kehidupannya di bumi bersama dengan manusia lain demi terciptanya kehidupan yang lebih baik, adil, dan berbelarasa.

Kesimpulan
Puasa merupakan kegiatan keagaaman tertua yang dilakukan oleh manusia. Selain dalam Islam, upaya untuk menahan hawa nafsu diri ini juga dapat ditemukan di dalam agama-agama lain yang muncul sebelum dan sesudah Muhammad berkarya di dunia ini. Tujuannya berbagai macam, misalnya dapat mendekatkan diri kepada Tuhan atau digubris oleh-Nya dengan berkat-berkat.
Dalam ajaran Islam, Puasa dilakukan di Bulan Suci Ramadhan. Selama kurang-lebih 30 hari, mereka berjuang melawan nafsu manusiawi sejak matahari belum terbit di ufuk timur hingga kembali ke peraduannya di ufuk barat. Dalam kurun waktu belasan jam itu, makanan dan minuman, hubungan seksual, dan tindakan yang jahat diharamkan. Bahkan, diniatkan untuk melakukannya pun tidak diperkenankan. Oleh karena itu, dianjurkan untuk memperbanyak pembacaan Kitab Suci dan mendirikan salat. Tujuannya adalah dapat semakin mendekatkan diri kepada Tuhan.
Selain tujuan mencapai kedekatan non-spasial dengan Sang Pencipta itu, ternyata puasa bertujuan untuk mendekatkan diri si pelakunya dengan sesama manusia. Ketika menjalankan ibadah ini, mereka dianjurkan untuk berbuat baik sebanyak mungkin. Zakat, sedekah, dan infaq diberikan kepada kaum dhuafa yang membutuhkan uluran tangan. Harapannya adalah orang-orang yang termiskinkan ini dapat mencicipi sedikit nikmat dan kebahagiaan berpuasa yang diakhiri dengan Hari Raya Idul Fitri. Dengan demikian, puasa juga memiliki dampak positif bagi kehidupan sosial.
Puasa masih sangat relevan untuk dilakukan di abad ke-21 ini. Seperti yang dikatakan oleh para filsuf Mazhab Frankfurt, misalnya Herbert Marcuse, modernitas yang memajukan peradaban manusia di abad ini juga sekaligus menyebabkan berbagai kemunduran, misalnya dalam hal etika  dan moral. Pada zaman ini, kesadaran individual manusia semakin tumbuh seiring dengan meningginya kepercayaan diri untuk dapat menaklukan alam dengan pengetahuan ilmiah yang dimiliki. Hal ini bermuara pada egoisme akut arogan yang merasa diri mampu hidup tanpa sesamanya. Parahnya, materialisme dan objektifisme mengekor dalam sikap segregatif ini. Manusia mempedulikan dan menghormati sesamanya jika mereka memiliki “nilai” yang menguntungkan dirinya dengan agenda eksploitasi. Homo homini economicus (Gaut 2010)! Kemiskinan dan penderitaan muncul di berbagai tempat sebagai konsekuensi sikap demonis ini. Kehadiran puasa yang dimaknai dengan semangat berbagi dalam rangka menatalayani kehidupan yang telah diberikan oleh Allah merupakan obat mujarab bagi penyakit sosial yang kronis ini. Melalui ibadah ini, manusia didorong untuk berani melepaskan diri dari ikatan nafsu yang cenderung tamak, possesif, dan egois itu. Kelepasan dari ikatan itu merupakan awal untuk dapat berbelarasa dengan kaum marjinal yang termiskinkan oleh struktur yang dibangun sesamanya. Bahkan, lebih jauh daripada itu, ini juga merupakan dasar teologi liberatif yang menempatkan manusia di sisi kaum marjinal untuk membela hak azasi mereka yang telah dirampas.
Lantas bagaimana dengan Gereja? Apakah Tubuh Kristus di Indonesia telah menyadari eksistensi dan panggilannya di negara ini, yaitu untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah dengan pertolongan Roh Kudus dalam rangka menjalankan misi Allah? Tanda-tanda Kerajaan Allah yang dimaksud bukanlah sebuah kondisi dunia yang homogen dalam hal agama, melainkan keadaan bumi yang indah akibat ditegakkannya keadilan, perdamaian, cinta kasih, kesetaraan, dan sukacita. Apakah isi khotbah para pendeta hanyalah soal berkat Tuhan dan keselamatan dari dosa yang cenderung egois dan eksklusif, alih-alih ajakan untuk bersolidaritas dengan sesama seperti yang telah dilakukan oleh Yesus? Gereja haruslah membangun sebuah spiritualitas sosial sebagai ungkapan persahabatan dengan manusia dan juga alam yang didasarkan pada Alkitab dan Tradisi Kekristenan.

Daftar Acuan
Doorn-Harder, Pieternella van. "Puasa: Doa dengan Tubuh." dalam Lima Titik Temu Agama-agama, disunting oleh Pieternella van Doorn-Harder, Kees de Jong and Djaka Soetapa, 137-150. Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 2000.
Dzuhayatin, Siti Ruhaini. "Hakekat dan Hikmah Puasa dalam Islam." dalam Lima Titik Temu Agama-agama, disunting oleh Pieternella van Doorn-Harder, Kees de Jong and Djaka Soetapa, 151-155. Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 2000.
Gaut, Willy. Filsafat Postmodernisme: Jean-Francois Lyotard. Maumere: Ledalero, 2010.
Gazalba, Sidi. Asas Agama Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1985.
Majid, Nurcholish. "Penghayatan Makna Ibadah Puasa Sebagai Pendidikan Tentang Kesucian serta Tanggungjawab Pribadi dan Kemasyarakatan." dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, disunting oleh Budhy Munawar-Rachman, 413-421. Jakarta: Paramadina, 1995.
Najib, Emha Ainun. Tuhan pun Berpuasa. Yogyakarta: Zaituna, 1997.


[1] Dalam masyarakat modern, kaum marjinal yang termiskinkan akibat struktur juga dapat dikategorikan ke dalam kelompok ini.

Tuesday, December 11, 2012

All Things New: Perjamuan Kudus dan Idul Adha sebagai Dasar Teologi bagi Rekonsiliasi Hubungan Kristen dan Islam di Indonesia

Pendahuluan
Sejarah merekam rivalitas abadi antara Kekristenan dan Islam. Tidak jarang keduanya terlibat dalam aksi saling bunuh. Perang Salib yang berlangsung selama lebih dari seabad hanyalah salah satu dari segudang peristiwa berdarah tersebut. Motifnya memang tidak selalu soal ketegangan klaim kebenaran dan keselamatan religius. Acap kali kepentingan ekonomi dan politik ikut menorehkan warna kelam dalam sejarah relasi ini. Dalam keadaan ini, haruslah diakui bahwa tidak mudah untuk memilah motif-motif tersebut.
Relasi kedua agama misi ini di Indonesia tidak lebih baik dibandingkan dengan di daratan-daratan lainnya. Dihapusnya tujuh kata kontroversial dalam Piagam Jakarta dinilai oleh beberapa kalangan sebagai titik kejatuhan Islam dan kemenangan Kristen dalam pertempuran mengenai dasar negara ini. Sebelum peristiwa itu, yaitu pada masa kolonialisasi asing, pemerintah cenderung menganakemaskan kelompok Kristen. Hal ini terlihat dari tindakan pemberian berbagai hak istimewa dan bantuan ini-itu berjumlah besar kepada berbagai lembaga yang digawangi oleh agama ini. Pada masa pendudukan Jepang, Islam yang berada di atas angin, sedangkan Kristen ditindas sedemikian rupa.
Berdasarkan data sejarah di atas, relasi Kristen dan Islam memerlukan rekonsiliasi. Kenapa? Bagi saya, Indonesia tidak akan naik tingkat dari level ‘negara berkembang’ menuju level ‘negara maju’ tanpa partisipasi aktif setiap elemen masyarakatnya. Perseteruan antar elemen tentulah menghambat laju pembangunan negara ini. Memang itu hanyalah satu alasannya. Namun, yang terutama, mimpi hidup damai dalam perbedaan tidak akan pernah terwujud bila masalah ini tidak segera diselesaikan.
Pancasila memang diakui sebagai dasar kehidupan bersama bagi setiap elemen yang berbeda. Keberadaannya dianggap dapat meredakan konflik berkepanjangan ini.  Sayangnya, setelah sekian tahun Pancasila hadir, tetapi relasi ini belum kunjung membaik. Tampaknya Pancasila sebagai platform politik perlu didampingi oleh berbagai platform lain, misalnya teologi, yang memiliki semangat rekonsiliasi.
Sakramen Perjamuan Kudus dalam Kekristenan dan Hari Raya Idul Adha dalam Islam merupakan dua warisan teologi yang memiliki semangat itu. Makalah singkat ini akan berusaha menggali makna rekonsiliatif dari kedua warisan teologi tersebut. Bila memang ada, mungkinkah umat Kristen ikut serta dalam perayaan Idul Adha atau sebaliknya? Jika mungkin, keikutsertaan macam apa yang dapat dilakukan? Pertanyaan-pertanyaan ini akan penulis coba jawab dalam tulisan ini. Harapan penulis adalah, jika pun ada makna semacam itu, semoga cukup mampu untuk menjadi dasar bagi perdamaian di antara kedua agama. Apa yang dimimpikan penulis hanyalah sebuah negara dan bangsa bernama Indonesia yang damai, adil, dan sejahtera sekalipun hidup dalam keberagaman relijius dan kultural.

Idul Adha: Bukan Sekadar Berkurban
Idul Adha selalu menyuguhkan pemandangan yang sama tiap tahunnya. Sederet bangunan kayu sederhana yang difungsikan sebagai kandang kambing dan sapi didirikan di pinggir jalan raya. Tidak sedikit pedagang hewan kurban yang menjajakkan dagangannya di media massa dan jejaring sosial dunia maya. Cara yang jauh lebih modern dan praktis ini menawarkan kemudahan berkurban bagi para calon pembeli. Mereka menjanjikan hewan kurban yang telah dibeli akan segera diberikan kepada pihak yang berhak menerimanya.
Allah SWT menganjurkan umat-Nya  untuk berkurban. QS Al-Hajj ayat 34 berbunyi, “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah  terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah  kepada mereka, maka Ilahmu ialah Ilah Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allãh).” Ayat tersebut perlu disandingkan dengan ayat ke-37 dari surat tersebut yang menjelaskan bahwa bukanlah daging dan darah ternak kurban yang diridhai oleh Allah SWT, melainkan ketakwaan manusia. Dengan demikian, bagi umat Islam, kurban merupakan sesuatu yang penting karena merupakan bagian dari syari’ah agama, tanda ketaatan pada tauhid, dan sarana untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik (Mutaqin 2012).
Selain dalam Al-Quran tersebut, kurban pun dibicarakan oleh Nabi Muhammad SAW dalam Hadist. Ia mengatakan bahwa kurban itu, bagi tuannya dengan setiap bulunya, adalah kebajikan. Ahmad Sahidah, seorang dosen filsafat dan etika Universitas Utara Malaysia, menuliskan kajian dan penafsiran yang menarik dalam artikelnya yang berjudul Metafora Kurban Kambing. Ia memandang bahwa Hadist tersebut memang menjanjikan pahala bagi para pekurban. Namun, semangat berbagi kepada sesama-lah yang hendak diajarkan oleh Nabi kepada umat Islam, bukan anjuran untuk menjadikan pahala sebagai orientasi pribadi. “Ia adalah kiasan tentang betapa banyaknya kebaikan yang dapat dimanfaatkan oleh orang yang memerlukan.” (Sahidah 2012) Dengan demikian, kurban seharusnya dapat menjadi salah satu alat untuk menciptakan kesejahteraan sosial.
Selanjutnya, Sahidah menggarisbawahi kisah pengurbanan yang dilakukan Nabi Ibrahim. Dalam kisah tersebut, sang nabi menunjukkan ketaatan luar biasa kepada Allah SWT dan perintah-Nya. Ia tidak segan untuk mengurbankan buah hatinya, yaitu Ismail, demi Sang Khalik. Akhirnya, Allah menggantikan Ismail dengan seekor hewan ternak setelah melihat kebulatan hati nabi. Berdasarkan kisah tersebut, Sahidah menyimpulkan bahwa ketaatan manusia kepada Allah tidak boleh mengorbankan sesama (Sahidah 2012).
Ayat-ayat Al-Quran dan Hadist Nabi di atas merupakan ajaran-ajaran Islam yang mengandung dimensi hablum minallah dan dimensi hablum minannas. Segi relasi dengan Allah SWT terwujud dari kerinduan manusia untuk mendekatkan diri kepada-Nya melalui berbagai bentuk ibadah, yaitu haji, shalat, dan kurban. Segi yang lain, yaitu relasi dengan sesama manusia, terejawantah dalam praktik ibadah kurban.
Kurban pada dasarnya bagai keping mata uang, yaitu antara pengaplikasian cinta hamba terhadap Rabb-nya dan juga pengaplikasian cinta hamba antara sesamanya. Hubungan antara hamba dengan Allah adalah dengan pengorbanannya menjalankan perintah-Nya, sedangkan hubungan antara hamba dengan sesama manusia adalah dengan membagi-bagikan daging kurban pada yang membutuhkan. Keduanya tak bisa dipisahkan. Itu sebabnya dalam salah satu ayat al-Quran disebutkan bahwa perintah kurban disandingkan dengan shalat. (Mizan 2012)
Lantas, siapakah ‘sesama’ menurut Islam? Apakah para pemeluk agama selain Islam dipandang sebagai sesama? Dalam karyanya yang berjudul Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Quran, Abd. Moqsith Ghazali berpendapat bahwa keberagaman agama merupakan kehendak Allah SWT. Sang Pencipta mengizinkan manusia hidup dalam kondisi itu dengan tujuan manusia dapat saling mengenal dan menghargai eksistensi masing-masing tanpa niat untuk saling memusuhi dan menghancurkan.
Keberagaman agama diperkenankan oleh Allah bukan dalam rangka membenarkan diskriminasi umat Islam, melainkan agar manusia berlomba-lomba berbuah kebaikan. “Agama bukan tujuan (ghayat), melainkan sarana (wasilat) yang mengantarkan para penganutnya menuju Tuhan. Kemuliaan manusia di hadapan Tuhan dinilai berdasarkan kebaikan dan ketulusannya dalam beramal.” (Ghazali 2009, 4) Dengan demikian, bagi Islam, pihak yang dimaksudkan dengan kata ‘sesama’ adalah manusia lain yang sama dalam hakikatnya sebagai manusia. Atribut agama, suku, ras, dan golongan yang melekat pada diri tidak menghalangi Islam memandang manusia sebagaimana adanya.
Semangat rekonsiliasi ibadah kurban terwujud dalam kegiatan membagikan sekian gram berat daging ternak yang telah disembelih kepada sesama, yaitu kaum papa, tanpa pandang bulu. Peristiwa itu merupakan upaya menciptakan perdamaian antara si kaya dan si miskin yang hidup terpisah oleh jurang kesenjangan sosial. Selama tiga hari si pemberi diajarkan untuk mengingat bahwa terdapat hak si penerima dalam sebagian hartanya. Tujuannya adalah sepanjang hidupnya atau setidaknya selama setahun hingga perayaan Idul Adha berikutnya tiba, si kaya ingat akan tanggungjawab untuk ikut memelihara kehidupan si miskin. Dengan begitu, ia akan layak disebut sebagai seorang penganut Islam yang sejati karena telah berpartsipasi merahmati alam semesta.

Menjadi Peringatan akan Aku: Mengingat dalam Perjamuan Kudus
Mengingat merupakan inti dari Perjamuan Kudus. Dalam surat kepada jemaat di Korintus, Paulus menulis demikian, “… Tuhan Yesus, pada malam waktu Ia diserahkan, mengambil roti dan sesudah itu Ia mengucap syukur atasnya; Ia memecah-mecahkannya dan berkata: Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku! Demikian juga Ia mengambil cawan, sesudah makan, lalu berkata: Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimateraikan oleh darah-Ku; perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku!” Dalam ayat-ayat tersebut, kata anamnesin yang diterjemahkan sebagai ‘peringatan akan Aku’ diulang beberapa kali untuk mengindikasikan pentingnya tindakan ini.
Menurut Binsar Jonathan Pakpahan dalam bukunya yang berjudul God Remembers: Towards a Theology of Remembrance as a basis of Reconciliation in Communal Conflict, surat itu sengaja ditulis oleh Paulus untuk mengkritik kebiasaan buruk jemaat Kristen perdana di Korintus. Cara mereka makan dan minum dalam persekutuan tidak berbeda dengan apa yang dilakukan dalam Eranos. Anggota yang datang terlebih dahulu selalu menghabiskan makanan dan minuman yang tersedia dengan rakus tanpa menyisihkan bagi mereka yang datang kemudian. Akibatnya adalah sebagian kekenyangan dan mabuk, sedangkan yang lain kelaparan. Selain itu, si kaya pun tidak rela berbagi dengan si miskin (Pakpahan 2012, 147).
Ketidaksetujuan Paulus atas tindakan jemaat Korintus didasarkan pada konsepnya mengenai persekutuan. Ia menilai ketamakan dan keegoisan yang mereka tunjukkan akan mencederai semangat komunal. Oleh karena itu, rasul ini memberikan makna Kristiani pada perjamuan kudus dengan menekankan keberadaan Kristus di dalamnya. Jemaat di Korintus diajak untuk mengingat-Nya setiap kali mereka makan dan minum. Orientasi mereka digeser dari self-oriented menuju Christ-oriented.
Apa yang diingat dalam perjamuan kudus oleh umat adalah Kristus dan karya keselamatan yang telah dilakukan-Nya di masa lalu. Kematian-Nya di atas kayu salib terjadi dalam rangka mengampuni dosa-dosa manusia. Setelah peristiwa besar itu, relasi antara Allah dan manusia dipulihkan. Walaupun terjadi di masa lalu, kematian Kristus hadir di masa kini melalui ingatan umat dan berdampak bagi masa depan. Umat menantikan parousia yang akan datang dengan harapan tidak lagi “melihat cermin yang samar” dalam ingatan mereka, melainkan dapat bertemu Kristus muka dengan muka  (Pakpahan 2012, 244).
Lantas, selain dimensi rekonsiliasi vertikal antara Allah dan manusia, adakah dimensi rekonsiliasi sosial di dalam perjamuan kudus? Ya! Perjamuan kudus merupakan suatu tindakan liturgis yang dilakukan secara komunal seperti Kristus melakukannya bersama dengan para murid di masa lalu. Bila ada dari antara umat yang memiliki relasi buruk dengan sesamanya, ia haruslah  “meninggalkan persembahan di depan mezbah dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.” (bdk. Matius 5:24)

Semata-mata Demi Kebenaran: Mengingat dan Rekonsiliasi
Indonesia memiliki Monumen Pancasila Sakti di Jakarta yang didirikan sebagai peringatan peristiwa berdarah yang terjadi pada 30 September 1965. Pemerintah Australia mengkhususkan sebuah hari, yaitu 26 mei, untuk mengingat kesalahan pemerintah kolonial pada abad ke-20 atas suku Aborigin sebagai penduduk asli. Sebuah badan bernama Truth and Reconciliation Commission dibentuk oleh pemerintah untuk menemukan kembali kebenaran mengenai tindakan kekerasan yang terjadi pada era apartheid di Afrika Selatan. Tiga fenomena itu menunjukkan bahwa manusia memilih untuk mengingat masa lalu, sekalipun  pahit dan menyakitkan, alih-alih melupakannya.
Namun, apakah tindakan mengingat merupakan pilihan yang tepat? Bukankah itu malah membuka luka lama? Lagipula, bukankah akar dari aksi balas dendam adalah ingatan akan peristiwa masa lalu yang kelam? Oleh karena itu, sebagian orang yang berada di posisi korban memilih untuk mengubur luka dan berharap dapat melupakannya seiring waktu berjalan. Kalau pun mereka tetap mengingat, pengalaman-pengalaman buruk di masa lalu hanya dijadikan sebagai alasan logis dan ujung tombak untuk membalas dendam.
Binsar Jonathan Pakpahan berpendapat bahwa tindakan melupakan tidak akan pernah bermuara pada tindakan memaafkan. “For if you totally forget that someone once hurt you, you cannot forgive that person. Forgetting is not permanent. The memory is not eradicated and it can be resurrected. (Pakpahan 2012, 4) Dengan demikian, tindakan mengingat merupakan langkah awal dalam proses memaafkan kejahatan orang lain. Ini tidak berarti posisi keadilan digantikan oleh tindakan memaafkan. Apa jadinya bila kasus pelanggaran HAM, misalnya genosida, lekang oleh waktu tanpa sempat diperkarakan di meja hijau?
Mengingat bukanlah sekadar tindakan menarik kembali peristiwa yang terjadi di masa lampau. Bila hanya demikian, tindakan ini akan bermuara pada aksi balas dendam yang diwarnai kekerasan. Menurut Volf, tindakan mengingat haruslah didasarkan pada kejujuran. Pihak korban hanya diperkenankan mengingat apa yang benar-benar terjadi berdasarkan pengalaman mereka dengan kebenaran sebagai tujuan yang hendak dicapai. “Be truthful in telling what you remember no less than in telling what you experience or intend to do.” (Volf 2006a, 45). Dengan demikian, mengingat harus dilakukan demi dan dalam kerangka menemukan kebenaran semata-mata.
Langkah selanjutnya yang harus dilakukan dalam proses rekonsiliasi adalah merangkul. Volf berpendapat bahwa pihak pelaku dan korban yang terlibat dalam perseteruan haruslah membuat ruang dalam diri masing-masing sebagai tempat bagi sudut pandang yang lain. Sudut pandang dari kedua pihak yang hampir pasti berbeda akan bertemu dan berdialog dalam ruangan tersebut (Pakpahan 2012, 213). Dengan begitu, tidak akan ada ingatan dari salah satu pihak yang lebih mendominasi dan kemungkinan memanipulasi diperkecil.
Bila kedua langkah tersebut telah dilewati dengan baik, memaafkan dan bertobat baru dapat dilakukan. Dengan mengutip Miroslav Volf, Binsar berpendapat bahwa memaafkan merupakan suatu alat ampuh yang dapat digunakan untuk memutus lingkaran balas dendam. Walaupun demikian, tindakan ini tidak menggantikan keadilan. Memaafkan dipahami sebagai tindakan pihak korban dalam mengiyakan pengalaman masa lalu buruk yang telah menimpa mereka sekaligus wujud dari keinginan untuk melepaskan pihak pelaku dari rasa bersalah dan hukuman (Pakpahan 2012, 213).
Lantas, apa bagian pihak pelaku? Tindakan yang harus dilakukan oleh pihak tersebut adalah bertobat. Pihak pelaku hanya mungkin bertobat bila telah menyadari kesalahannya dan dimaafkan oleh pihak korban. Dalam bukunya yang berjudul Free of Charge: Free of Charge: Giving and Forgiving in a Culture Stripped of Grace, Volf mengatakan bahwa tindakan memaafkan memang tidak menyebabkan adanya pertobatan, tetapi ini memungkinkan pihak pelaku untuk bertobat (Volf, 2006b, 186).
Langkah-langkah yang telah di atas merupakan rangkaian proses rekonsiliasi. Setelah semua itu dilakukan rekonsiliasi hubungan akan tercipta. Tanda-tandanya adalah pihak korban mengalami keamanan dan kehidupannya dipulihkan. Di lain sisi, pihak pelaku mengakui kesalahannya, menerima ganjaran, dan mengalami transformasi kehidupan.
Kesimpulan
Hubungan antara Islam dan Kristen amatlah memprihatinkan. Kedua agama misi ini sering kali terlibat dalam pertempuran berdarah. Penyebabnya tidak hanya soal pendakuan radikal atas kebenaran dan keselamatan, tetapi juga diperparah oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang demonis. Pada saat itulah, kita tidak mudah membedakan yang mana motif agama dan mana yang dorongan nafsu duniawi. Yang terlihatnya hanyalah dua kubu manusia yang mengacungkan senjata kepada yang lain sambil meneriakan nama Tuhan masing-masing seolah aksi itu diperkenankan-Nya.
Demi kedamaian hidup berbangsa dan bernegara dan atas nama perjuangan menuju masa depan yang lebih baik, relasi problematis relasi Kristen dan Islam harus segera diselesaikan. Pancasila sebagai ideologi bangsa perlu didampingi oleh teologi rekonsiliatif masing-masing agama untuk mendamaikan keduanya. Islam memiliki teologi seperti itu dalam kurban hewan yang dilakukan ketika Idul Adha, sedangkan Kristen memilikinya dalam perjamuan kudus.
Kesamaan kedua ritual keagamaan ini adalah keduanya memberikan tempat yang penting bagi tindakan mengingat. Dalam ritual kurban, umat Islam diajak untuk mengingat peristiwa pengurbanan Ismail yang terjadi di masa lampau. Melalui ingatan itu, mereka diajarkan bahwa ketaatan kepada Allah tidak boleh mengorbankan sesama. Dengan demikian, hubungan vertikal terjalin tanpa melupakan relasi horizontal. Melalui perjamuan kudus, umat Kristen diajak untuk mengingat kematian Kristus di kayu salib yang mendamaikan Allah dan manusia. Ritual komunal ini menuntut umat yang berpartisipasi di dalamnya untuk hidup dalam kedamaian dengan sesamanya.
Umat Kristen tidak perlu lagi memandang Idul Adha dan pelaksanaan ritual kurban sebagai pemborosan dan tidak berdampak etis apapun karena apa yang diajarkan melaluinya sangatlah mulia. Sebaliknya, umat dapat berpartisipasi dengan para pemeluk Islam dalam perayaan ini dengan berbagai cara yang positif karena toh yang diusahakan adalah keadilan sosial; kesenjangan antara si kaya dan si miskin yang sedang dikikis. Di lain sisi, umat Islam pun perlu berpartisipasi dalam perjamuan kudus hingga batas-batas tertentu yang diperkenankan oleh agama mereka tanpa kehilangan pemahaman akan semangat rekonsiliatif diajarkan melaluinya. Sebagai penutup, saya semakin berani berharap rekonsiliasi Kristen dan Islam tidaklah hanya sebatas impian. Semoga saya tidaklah sendirian dalam berharap akan masa depan Indonesia yang gemilang itu; suatu keadaan semua hal menjadi baru dan baik seperti baru saja diciptakan.


Daftar Acuan

Ghazali, Abd. Moqsith. Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Quran. Depok: KataKita, 2009.
Mizan. Shalat dan Kurban: Dua Keping Mata Uang “Hablum Minallah” dan "Hablum Minannas”. Oktober 25, 2012. http://www.mizan.com/news_det/shalat-dan-kurban-dua-keping-mata-uang-hablum-minallah-dan-hablum-minannas.html (diakses Desember 7, 2012).
Mutaqin, Abdul. Idul Qurban: Kemurnian Tauhid dan Kesalehan Sosial. Oktober 31, 2012. http://muhammadiyahlimo.wordpress.com/2012/10/31/idul-qurban-kemurnian-tauhid-dan-kesalehan-sosial/ (diakses Desember 7, 2012).
Pakpahan, Binsar Jonathan. God Remembers. Amsterdam: VU University Press, 2012.
Sahidah, Ahmad. "Metafora Kambing Kurban." Koran Tempo. Jakarta: PT Tempo Inti Media Tbk, Oktober 25, 2012.
Volf, Miroslav. Free of Charge: Giving and Forgiving in a Culture Stripped of Grace. Gran Rapids: Zondervan, 2006.
—. The End of Memory: Remembering Rightly in a Violent World. William B. Eerdmans: Gran Rapids, 2006.

Saturday, September 1, 2012

Di Manakah Allah Ketika Manusia Menderita? Sebuah Upaya Biblis dalam Menggumuli Teodice dan Penderitaan Manusia

Pendahuluan
Penderitaan merupakan salah satu misteri yang belum dapat dipecahkan oleh manusia.  Manusia selalu mempertanyakan tentang penderitaan dan mencari jawabannya selama hampir sejarah kehidupannya di dunia ini. Narasi tentang seorang pangeran bernama Sidharta Gautama yang meninggalkan seluruh kepunyaannya demi memecahkan misteri tersebut merupakan salah satu contohnya. Ia rela bertapa selama bertahun-tahun tanpa makan dan minum yang cukup hanya untuk menggumuli penderitaan. Dalam narasi tersebut, pada akhirnya, ia mengalami pencerahan dan menemukan jawabannya.
Namun, tidak semua manusia merasa puas dengan jawaban yang ia temukan dan tawarkan. Bahkan, jawaban-jawaban lain yang diajukan oleh para pemuka berbagai agama dan para filsuf tentang penderitaan tidaklah cukup. Jika dikritisi lebih jauh memang akan selalu dapat ditemukan blindspot yang menjadi pintu masuk bagi kritik tajam terhadapnya. Pada akhirnya, tidak sedikit manusia menderita yang tadinya beragama memilih untuk menyangkal keberadaan Allah. Mereka bukannya bersikap anti terhadap penderitaan, melainkan hanya tidak rela menanggung derita yang tak beralasan.
Memang tidak mudah mengamini Allah dan keadilan-Nya ketika berhadapan dengan penderitaan tak terperi. Apakah ada alasan logis para korban dan keluarganya harus mengalami bencana alam tsunami yang menghajar wilayah utara Sumatera pada tahun 2004? Bagaimana mungkin manusia tidak menggugat Allah ketika berhadapan dengan gempa bumi mengerikan yang disusul oleh tsunami setinggi enam meter dan kebakaran besar selama berhari-hari menghancurkan kota Lisbon pada 1 November 1755? Dalam dua peristiwa itu, bukan hanya angka korban material yang begitu tinggi, tetapi juga angka korban jiwa. Kurang lebih 70.000 jiwa tewas malapetaka di benua biru Eropa itu. Angka tersebut memang tidak sebesar angka korban jiwa di Aceh, tetapi sangatlah berarti bagi Lisbon pada saat itu.
Beberapa abad sebelum masehi, Epikuros menuliskan sebuah pernyataan yang mempersoalkan peran Allah dalam penderitaan manusia. Filsuf Yunani itu memang percaya akan eksistensi sosok ilahi, tetapi ia menyangkal peran-Nya dalam kehidupan manusia di dunia. Menurutnya, para junjungan manusia itu tinggal tenang di dunia atas dan tak tersentuh oleh jerit tangis penderitaan manusia (Tjahjadi 2004).
Mungkin dewa ingin mengatasi penderitaan, tetapi Dia tidak dapat melakukannya. Mungkin juga Dia dapat, tetapi tidak mau melakukannya. Kemungkinan lainnya adalah Dia tidak dapat dan juga tidak mau melakukannya. Apabila Dia mau tetapi tidak dapat, maka Dia lemah ... Jika Dia dapat melakukannya tetapi tidak mau, maka Dia jahat ... Kalau Dia tidak mau dan tidak dapat, maka Dia jahat sekaligus lemah. Tetapi jika Dia dapat dan mau melakukannya, lantas dari mana asal penderitaan? (Kleden 2006, 16).
Penafsiran Gerrit Singgih terhadap narasi penciptaan yang termuat dalam Kejadian 1:1-3 dapat menjadi salah satu tanggapan teologis terhadap pertanyaan Epikuros tersebut. Dengan sikap oposisif terhadap konsep teologi penciptaan klasik, yaitu creatio ex nihilo yang mengimani Allah sebagai pencipta segala sesuatu, ia menawarkan pemahaman esensial tentang penderitaan berdasarkan tafsiran alternatifnya. Tidak seperti konsep tersebut yang berkonsekuensi menunjuk Allah sebagai pencipta penderitaan karena memang Ia adalah pencipta segala sesuatu, tafsirannya alternatifnya ini tidak menyulitkan posisi Allah.
Makalah ujian akhir semester ini akan mencoba memperlihatkan hubungan penafsiran alternatif Gerrit Singgih dengan persoalan tentang penderitaan manusia.[1] Penulis menyadari bahwa para teolog Kristen berusaha membela Allah dan keadilan-Nya ketika berhadapan dengan penderitaan. Pembelaan semacam ini disebut ‘teodice’ (Yunani: theo = Allah, dikhe = keadilan) untuk pertama kalinya oleh Leibniz. Hal ini dibuktikan dengan munculnya berbagai pemahaman teologis tentang penderitaan, misalnya penderitaan dalam kerangka harmoni kehidupan. Oleh karena itu, pembahasan tentang konsep itu akan diberi tempat dalam makalah ini dan dikritisi secara teologis pula. Apa yang ingin dikemukakan oleh penulis dalam makalah ini adalah sebuah pemahaman biblis-teologis mengenai penderitaan manusia yang berdasarkan pada teks Perjanjian Lama, khususnya teks Kejadian 1:1-3. Tujuannya adalah menawarkan pemahaman biblis mengenai Allah dan penderitaan kepada para pembacanya yang dapat dipertimbangkan sebagai salah satu batu fondasi iman.

Penderitaan dalam Kerangka Harmoni Kehidupan
Agustinus memahami bahwa eksistensi penderitaan diperlukan dalam kehidupan manusia. Teolog Kristen dari Hippo yang hidup pada abad ke-4 ini mendasarkan pandangan teologisnya pada kepercayaan bahwa alam semesta (kosmos) diciptakan dan diselenggarakan dalam keteraturan yang berada di bawah kuasa Logos[2] yang menciptakannya. Logos tidak mungkin menciptakan alam semesta dan segala isinya tanpa tujuan dan makna. Dengan demikian, apapun yang diciptakan dalam rencana-Nya, termasuk penderitaan (kematian, penyakit, dan keburukan), pastilah bertujuan dan bermakna.
Sang Pencipta dipercayai sebagai sumber kebaikan dan harmoni. Konsekuensinya adalah segala yang diciptakan-Nya, termasuk penderitaan, pastilah baik dan harmonis dengan sesama ciptaan lain. Bak sebuah masterpiece lukisan seniman ternama yang sangat indah karena keharmonisan warna-warna gelap dan terang yang digoreskan di atas kanvasnya, perpaduan sempurna antara kebaikan dan keburukan akan menghasilkan keindahan harmoni ciptaan. Itulah sebabnya Agustinus mendorong manusia untuk memfokuskan diri tidak hanya pada pengalaman-pengalaman buruk melulu tanpa mempertimbangkan adanya pengalaman-pengalaman baik (Kleden 2006, 90-92).
Konsekuensi logis dari pemahaman seperti ini adalah dijunjungtingginya keharmonisan ciptaan. Keberadaan atau keabsenan penderitaan dalam alam semesta tidak akan merusak keharmonisannya. Alasannya adalah Logos (yang kemudian disebut ‘Allah’) toh mampu menciptakan sesuatu lain yang disebut bukan ‘penderitaan’ sebagai penyeimbang keharmonisan tersebut. Namun, Ia tetap memberikan peran penyeimbang kepada penderitaan. Oleh karena itu, manusia haruslah memandangnya sebagai bagian dari keharmonisan.
Lantas, tujuan dan makna ilahi semacam apa yang dapat ditemukan dari penderitaan? Ketika tsunami meluluhlantakan Nangroe Aceh Darussalam yang notabene berpenduduk mayoritas Islam, sebagian kalangan Kristen berpendapat bahwa bencana alam tersebut sebagai hukuman dari Allah. Kebobrokan moral dan kebejatan tingkah laku penduduk setempat, khususnya kepada para pemeluk Kekristenan, dihakimi sebagai penyulut berkobarnya api murka-Nya. Untuk Kita Renungkan-nya Ebiet G. Ade yang acap kali dijadikan lagu latar yang membuka dan menutup laporan bencana berbagai media eletkronik seolah mendramatisasi dan mempertegas pemahaman teologis itu. Mereka mengklaim bahwa pertobatan hidup dianggap sebagai tujuan Allah menimpakan malapetaka atas diri mereka.
Mereka membangkitkan cemburu-Ku dengan yang bukan Allah. Mereka menimbulkan sakit hatiku-Ku dengan berhala mereka ... Aku akan menimbun malapetaka ke atas mereka; seluruh anak panah-Ku akan Kutembakkan kepada mereka. Apabila mereka sudah lemas karena lapar dan merana oleh demam yang membara dan oleh penyakit sampar, maka aku akan melepaskan taring binatang buas kepada mereka; dengan racun binatang yang menjalar di dalam debu. Pedang di luar rumah dan kengerian di dalam kamar akan melenyapkan teruna maupun dara, anak menyusu serta orang ubanan (Mohamad 2011, 14-15).
Selain berfungsi sebagai hukuman bagi kesalahan manusia, penderitaan juga berfungsi sebagai latihan bagi manusia. Manusia yang mampu tetap beriman dalam penderitaan dianggap akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan spiritual. Layaknya otot-otot manusia yang  berkembang dan semakin kuat hanya jika dilatih dengan intens dalam jangka waktu tertentu, iman manusia akan semakin berkembang dan dewasa hanya saat menghadapi kesulitan, pencobaan, dan penderitaan (Reichenbach 1982, 96).
Konsep teodice yang mendudukan penderitaan dalam kerangka harmoni kehidupan masih dipelihara hingga saat makalah ini ditulis. Dalam khotbah atau lagu-lagu gerejawi, penderitaan dianggap perlu untuk menghentikan manusia dari perbuatan dosa atau guna mendorong pertumbuhan imannya. Manusia haruslah mengatakan dengan penuh kepercayaan pada Allah bahwa semuanya berjalan dengan baik, meskipun sedang hancur hati atau sekarat secara fisik akibat beratnya penderitaan.
Oleh karena itu, tidak sedikit kritik teologis-filosofis yang dialamatkan kepada konsep ini. Menurut para kritikus, Allah ditampilkan sebagai penguasa yang cenderung sewenang-wenang. Ia hampir tidak peduli dengan cara-cara macam apa yang digunakan. Semua metode tampak halal selama mampu menjamin tujuan pribadi-Nya terwujud. Padahal, dalam kasus bencana alam, bukan hanya orang-orang berdosa yang tewas, tetapi juga sekian banyak orang baik dan beriman kepada-Nya. Jika memperhatikan bencana di Lisabon, toh puluhan katedral, gereja, dan biara rata dengan tanah. Sebagian besar korban tewas akibat tertimpa reruntuhan bangunan-bangunan tersebut ketika mereka tengah mengikuti missa dalam rangka memperingati Hari Orang Kudus. Lantas, mengapa Ia tidak menghiraukan keberadaan orang-orang yang hidup sesuai kehendak-Nya itu? Apakah mengorbankan manusia di atas altar demi kebaikan manusia lainnya merupakan cara terluhur yang dapat digunakan Allah?
Lalu, apakah penderitaan dapat menjamin hasilnya akan selalu baik? Tidak! Sebaliknya, salah satu pendorong manusia untuk menyangkal Allah dan eksistensi-Nya adalah keberadaan penderitaan. Hicks mengatakan bahwa memang penderitaan dapat membuat hidup manusia menjadi lebih baik dan bermoral, misalnya keegoisan berubah menjadi belaskasih, kesombongan berubah menjadi kesabaran dan kerendahan hati. Namun, semua tidak selalu berjalan semulus itu. Sering kali malah iman kepada Allah hancur dan kejahatan muncul setelahnya (Reichenbach 1982, 100).

Ex Nihilo Nihil Fit: Tafsiran Alternatif atas Kejadian 1:1-3
Tafsiran tradisional-konvensional para teolog atas teks Kejadian 1:1-3 menempatkan creatio ex nihilo sebagai teologi penciptaan tunggal dalam ajaran Kristen. Berdasarkan ketiga ayat tersebut, Allah diakui sebagai pencipta segala sesuatu yang ada. Kuasa Allah yang sangat besar dan tak tertandingi itu memungkinkan diri-Nya untuk menciptakan tanpa bahan mentah apapun. Semuanya tercipta hanya karena Ia bersabda.
Walter Lempp, seorang teolog yang pernah mengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, bersikap pro terhadap creatio ex nihilo. Ia mendasarkan pemahamannya itu pada tafsiran terhadap kata ‘menciptakan’ (Ibrani: Bara) dalam ayat 1. Menurutnya, kata ‘menciptakan’ pastilah dan haruslah dimengerti sebagai kegiatan aktif meng-ada-kan sesuatu dari yang tidak ada (Lempp 1987, 15).
Konsekuensi logis dari pemahaman teologis ini adalah keberadaan ciptaan bergantung pada keberadaan Allah. Secara ontologis, Ia adalah primera causa atau penyebab utama. Jika menggunakan bahasa Perjanjian Baru, Ia adalah Yang Awal (dan Yang Akhir). Dengan demikian, inisiatif Allah menciptakan segala sesuatu pastilah terencana dan bermakna bagi kehidupan ciptaan, termasuk manusia. Ia tidak sedang iseng bersabda pada saat itu.
Namun, seperti yang telah dipaparkan di atas, teologi penciptaan semacam ini menyudutkan posisi Allah. Ia dipandang bersalah karena juga telah menciptakan keburukan (malum)termasuk penderitaan. Sekalipun penderitaan tersebut berusaha ditundukkan oleh kepercayaan soal keharmonisan ciptaan, posisi Allah tidak bergerak sedikit pun dari sudut. Ia tetap berada di sana untuk dipersalahkan karena kepercayaan tersebut memiliki kecacatan argumen yang terlihat jelas seperti yang telah dipaparkan di atas.
Jika demikian, benarkah Allah adalah Sang Pencipta yang mengadakan segala sesuatunya dari ketiadaan? Gerrit Singgih menyatakan ketidaksetujuannya terhadap creatio ex nihilo dalam bukunya yang berjudul Dua Konteks: Tafsir-tafsir Perjanjian Lama sebagai Respons atas Perjalanan Reformasi di Indonesia. Ia menawarkan teologi penciptaan alternatif yang didasarkan pada penafsiran atas lima kata yang tertulis dalam ketiga ayat tersebut, yaitu ‘beresyit’, ‘bara’, ‘tohu wabohu’, ‘or’, dan ‘hayetah’. Penafsiran ini dapat “menyelamatkan” Allah dari aliran hujatan dan hujanan kritik yang menimpa-Nya.
Kata pertama dalam ayat 1 adalah ‘beresyit’ yang diterjemahkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) sebagai ‘pada mulanya’. Jika merujuk pada Alkitab versi lain, misalnya Revised Standar Version, kata tersebut diterjemahkan sebagai ‘in the beginning’ yang memiliki arti sama dengan apa yang ditafsirkan LAI. Konsekuensinya adalah ‘pada mulanya’ mengindikasikan bahwa Allah telah ada sebelum ciptaan (Singgih 2009, 219).
Namun, Allah hampir tidak pernah disebutkan sendirian dalam teks-teks Perjanjian Lama. Ia selalu dihubungkan dengan langit sebagai tempat kediaman-Nya. Terdapat kemungkinan yang menyebutkan bahwa Allah telah ada di langit ketika menciptakan bumi. Mungkin ini adalah alasan penulis Kitab Kejadian lebih memfokuskan diri hanya pada penciptaan bumi pada ayat kedua. Dengan demikian, alih-alih berada sendirian di luar ciptaan, termasuk di luar ruang dan waktu, Ia justru berada bersama-sama dengan ciptaan (Singgih 2009, 221).
Konsep mengenai keberadaan Allah bersama dengan ciptaan bertolakbelakang dengan kata ‘pada mulanya’ yang menandakan permulaan waktu. Jika ditafsirkan secara tekstual, kata ‘beresyit’ memang keliru jika ditafsirkan sebagai ‘pada mulanya’ mengingat ketidakadaan kata sandang ha- sebelum kata tersebut. Jadi, seharusnya kata itu diterjemahkan oleh LAI menjadi ‘semula’ atau ‘in a beginning’ (Singgih 2009, 218). Menurut Singgih, ‘semula’ yang dimaksud menerangkan keadaan bumi pra-penciptaan yang masih kosong.
Kata kedua yang ditafsirkan oleh Singgih adalah ‘bara’ yang, pada umumnya, diterjemahkan sebagai ‘menciptakan’. Bagi para pendukung creatio ex nihilo, kata ini selalu disandingkan dengan subjek tetap, yaitu Allah. Jika mempertimbangkan penggunaan kata ini dalam teks-teks Perjanjian Lama lainnya, misalnya Kel. 34:10, Bil. 16:30, dan Mzm. 51:10, yang menunjukkan ketidakberbandingan Allah dalam menciptakan sesuatu yang baru, prinsip creatio ex nihilo mendapatkan dukungan biblis. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa teks-teks tersebut tidak menyebutkan bahan dasar yang digunakan-Nya untuk mencipta.
Namun, penafsiran kata ‘bara’ sebagai ‘menciptakan’ tidaklah tepat. Menurut Singgih, setidaknya terdapat dua alasan yang menggugat penafsiran tersebut. Gugatan pertama adalah fakta bahwa adanya unsur-unsur pra-penciptaan yang mendahului aksi ‘bara’, sedangkan gugatan kedua adalah kata ‘bara’ tidak selalu diterjemahkan sebagai ‘menciptakan’. Menurut Robert Caroll, terdapat kemungkinan ‘bara’ dapat diterjemahkan sebagai ‘memotong’. ‘Memotong’ yang dimaksudkan sama seperti seorang yang menebang pohon-pohon untuk membuka hutan dan mendirikan pemukiman. Jika penafsiran ini yang digunakan, keberadaan unsur-unsur pra-bara tidak disangkal (Singgih 2009, 238)
Kata selanjutnya yang ditafsirkan adalah ‘tohu wabohu’. Pada umumnya kata ini diterjemahkan sebagai ‘belum berbentuk dan kosong’. Namun, Singgih menerjemahkannya sebagai ‘padang gurun belantara’ yang memiliki kesan mati, kosong, tak terawat dengan baik, dan terlantar karena tidak ada kehidupan yang menatanya (Singgih 2009, 223).
Lalu, apakah unsur-unsur lain, yaitu ‘khosyek’ atau ‘gelap gulita’, ‘tehom’ atau ‘samudera raya’, dan ‘hamayim’ atau ‘air’, yang disebutkan sesuai dengan tafsiran ‘tohu wabohu’ sebagai keadaan ‘padang gurun belantara’? Ya! Gelap gulita tentu saja sesuai dengan keadaan tersebut. Penyebutan ‘tehom’ dan ‘hamayim’ bukan untuk menunjukkan adanya sunsur-unsur alam seperti yang kita pahami sekarang, melainkan untuk menunjukkan suatu keadaan kosong ala padang gurun belantara (Singgih 2009, 232). Dengan demikian, bumi bukan hanya masih berwujud pada gurun belantara yang kosong, tetapi memang belum ada bumi seperti yang kita kenal sekarang.
Kata-kata terakhir yang ditafsirkan oleh Singgih adalah ‘or’ yang berarti ‘terang’ dan ‘hayetah’ yang berarti ‘adalah’. Terang dipisahkan oleh Roh Allah dari gelap dan dinamakan ‘siang’ untuk membedakannya dengan gelap (khosyek) yang bernama ‘malam’. Pemisahan terang dari gelap ini menunjukkan bahwa gelap telah ada terlebih dahulu dalam wujud keadaan pra-bara. Hal ini juga berlaku pada ‘laut’ yang bukanlah ciptaan, melainkan keadaan pra-bara yang ditata oleh Allah dengan menempatkannya dalam sebuah “wadah” khusus (Singgih 2009, 244). Mengenai kata ‘hayetah’ yang ditempatkan sebelum kata ‘tohu wabohu’, Singgih menafsirkannya bukan sebagai ‘adalah’, melainkan sebagai ‘tadinya’.
Setelah memahami langkah-langkah penafsiran alternatif Singgih atas Kejadian 1:1-3 yang berbeda dengan penafsiran konvensional, kita dapat menarik kesimpulan bahwa ia mengasumsikan adanya chaos atau kekosongan sebelum penciptaan. Ia memang tidak mempersoalkan apakah kekosongan tersebut diciptakan terlebih dahulu oleh Allah daripada bumi dan segala isinya, tetapi itu dapat ditoleransi karena toh para penulis Kitab Kejadian tidak mempersoalkan ontologisnya. Allah yang ada bersama dengan chaos itu menatanya hingga menjadi kosmos yang teratur. Penataan tersebut tidak terjadi secara ajaib ala sihir atau sulap, melainkan melibatkan proses atas bahan dasar, yaitu keadaan pra-bara. Dengan demikian, tafsiran alternatif Singgih adalah sebagai berikut:
Ayat 1: Semula, ketika Allah menciptakan langit dan bumi,
Ayat 2: bumi tadinya padang gurun belantara, (dan) gelap gulita di atas permukaan samudera raya. Namun kemudia Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.
Ayat 3: dan Allah berkata, “Biarlah ada terang”. Lalu terjadilah terang (Singgih 2009, 214).

Di Manakah Allah Ketika Manusia Menderita?: Sebuah Refleksi Biblis-Teologis
Ex nihilo nihil fit yang dikemukakan oleh Gerrit Singgih menutup blindspot yang terdapat dalam teologi penciptaan creatio ex nihilo. Konsep teologi penciptaan yang ia konstruksi dengan menggunakan pendekatan tafsiran tekstual dan pertimbangan konteks penulisan ini tidak menempatkan Allah sebagai pencipta segala sesuatu. Menurutnya, sebelum alam semesta ditata sedemikian rupa oleh Allah, telah ada chaos yang ada terlebih dahulu. Kekosongan itu berada bersama dengan Sang Penata.
Pemahaman akan keberadaan Allah bersama dengan ciptaan dalam karyanya menata chaos menjadi kosmos merupakan ide teologis dasar atas refleksi mengenai penderitaan manusia. Ketika bencana alam datang bergandengan tangan dengan penderitaan, manusia mempertanyakan keberadaan-Nya. Sayangnya, jawaban yang diberikan kepada manusia malah mengisyaratkan posisi Allah di luar ciptaan. Ia dipercaya bertindak sebagai dalang yang menyebabkan semua terjadi sesuai keinginan dan tujuan-Nya. Tidaklah mengherankan jika seringkali Ia dihujat dan ditinggalkan pada akhirnya. Padahal, Allah (selalu) ada bersama dengan ciptaan. Ia tidaklah berada di belakang penderitaan atau di dunia atas nun jauh hanya mengamati ciptaan, melainkan berada di dalam penderitaan bersama dengan manusia yang mengerang kesakitan, hewan-hewan yang meringkuk sekarat, dan tumbuh-tumbuhan yang berteriak minta tolong dalam kebisuan. Teriakan ciptaan adalah teriakan-Nya. Tangisan ciptaan adalah tangisan-Nya pula. Ia ikut menderita bersama ciptaan.
Kebersamaan Allah dengan ciptaan bukanlah dengan tujuan mengeleminasi penderitaan. Manusia salah besar jika menyangka bahwa penyakitnya akan dipulihkan secara ajaib jika datang kepada-Nya. Ia hadir bersama dengan ciptaan untuk menjadi kawan sependeritaan yang berbelarasa. Bahkan, lebih jauh daripada itu, Allah juga menjadi rekan sekerja yang hadir untuk menolong manusia menata chaos akibat bencana. Dalam artikel berjudul Allah dan Penderitaan di dalam Refleksi Teologis Rakyat Indonesia, Gerrit Singgih merefleksikan Allah yang hadir dalam diri para tentara dan polisi di Aceh yang ditugaskan untuk “menata” chaos (tentu saja bersama dengan pihak-pihak terkait) saat mereka tengah menderita akibat kehilangan sanak saudara dan kerabatnya. Solidaritas semacam itu sangatlah memadai untuk menjawab pertanyaan soal keberadaan Allah ketika manusia menderita (Singgih, Allah dan Penderitaan di dalam Refleksi Teologis Rakyat Indonesia 2005, 6). Konsekuensi teologis-etis dari solidaritas Allah yang ditemukan dalam pertolongan sesama mendorong manusia untuk mengulurkan tangan kepada sesama yang tengah menderita dalam rangka menatachaos menjadi kosmos.

Daftar Acuan
Kleden, Paul Budi. Membongkar Derita. Maumere: Ledalero, 2006.
Lempp, Walter. Kejadian 1:1-4:26. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987.
Mohamad, Goenawan. Debu. Duka. Dsb.: Sebuah Pertimbangan Anti-theodese. Jakarta: Tempo & PT Grafiti Pers, 2011.
Reichenbach, Bruce R. Evil and A Good God. New York: Fordham University Press, 1982.
Singgih, Emanuel Gerrit. “Allah dan Penderitaan di dalam Refleksi Teologis Rakyat Indonesia.” Konsultasi Nasional dalam Kerjasama dengan PGI dan EKUMINDO: Teologi Bencana. Makassar: Oase Intim, 2005. 6.
—. Dua Konteks: Tafsir-tafsir Perjanjian Lama sebagai Respons atas Perjalanan Reformasi di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Tjahjadi, Simon Petrus Lili. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius, 2004.


[1] Terminologi ‘penderitaan’ yang dimaksud oleh penulis merupakan salah satu contoh atau turunan dari kata malumyang diterjemahkan sebagai ‘keburukan’. Terjemahan tersebut berbeda dengan ‘kejahatan’ karena keburukan terjadi bukan sebagai pelanggaran hukum etis-moral, melainkan sebagai keadaan alamiah. Agustinus mendefinisikan malumsecara general sebagai ‘keadaan yang merugikan’ (malum est id quod nocet).
[2] Penggunaan kata ‘Logos’ mengindikasikan pemahaman filosofis yang tengah mempengaruhi dunia Barat pada masa itu. Jejak Gnostisisme yang mengenal istilah tersebut dalam konsep metafisikanya masih dapat ditemukan dalam pemikiran manusia, sekalipun telah dipadukan dengan ajaran Stoa dan Neoplatonisme.