Pendahuluan
Jika mendengar kata ‘puasa’ apa yang terlintas di
dalam benak anda? Sebuah kegiatan keagamaan yang mewajibkan penganutnya untuk
menjauhkan diri dari makanan, minuman, dan kebutuhan biologis lainnya? Salah
satu moment, khususnya di Indonesia, yang mampu menerbangkan harga-harga
kebutuhan pokok ke langit sehingga sulit dicapai? Masa di mana orang-orang
menyantap makanan di balik tirai penutup milik restororan-restoran sebelum
matahari terbenam? Apapun jawaban anda, baik yang senada dengan pilihan-pilihan
yang penulis sediakan di atas maupun tidak, tentu saja tidak dapat
dipersalahkan tetapi juga tidak dapat dibenarkan begitu saja.
Namun demikian, benarkah puasa yang dipahami oleh Islam
hanya sebatas pada jawaban-jawaban itu? Apakah tujuan Allah memerintahkan puasa
dilakukan oleh umat-Nya hanya dengan tujuan dangkal seperti itu? Frederick
M. Deny, seorang Islamolog dari Universitas Colorado, menyatakan bahwa Islam
merupakan sebuah agama yang bercorak orthopraksis karena tidak hanya menekankan
pada aspek-aspek ketuhanan semata, tetapi juga menekankan pada keseimbangan
antara hubungan dengan Allah dan manusia (Dzuhayatin
2000). Oleh karena
itu, puasa pastilah memiliki makna dan tujuan
yang luhur sehingga diwajibkan untuk dilaksanakan. Tulisan ini disusun dengan kerinduan untuk mendalami
dan memaknai ulang puasa dalam konsep Islam. Harapan penulis adalah menemukan
makna luhur dari penggalian studi pustakanya, sehingga makna itu dapat
dijadikan jawaban yang tepat tanpa menyalahi ajaran agama ini tentang puasa.
Puasa dalam agama-agama
Kata ‘puasa’ berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu
‘upawasa’. Arti dari kata ini adalah ‘menahan diri’. Puasa merupakan kegiatan keagamaan paling tua yang dilakukan oleh
manusia. Jauh sebelum Islam lahir, praktek semacam ini dapat dijumpai dalam
agama-agama kuno hampir di seluruh dunia. Kaum Sabean dan Manu, dua kelompok
keagamaan kuno di Timur Tengah berpuasa dengan menjauhkan diri dari jenis
makanan dan minuman tertentu. Hal serupa juga dilakukan pula oleh orang-orang
Kristen Timur di Asia Barat dan Mesir. Mereka dilarang mengonsumsi daging hewan
dan olahannya selama Pekan Suci sebelum Paska (Majid 1995).
Berbeda dengan model-model puasa di
atas, beberapa agama tidak melarang penganutnya untuk minum ketika menjalankan
puasa, bahkan terdapat juga agama yang tidak mengajarkan kegiatan ini. Dalam
Injil disebutkan bahwa Yesus Kristus melakukan puasa selama 40 hari di gurun
pasir. Menurut para ahli, ia tetap harus makan dan minum untuk menghindarkan
dirinya dari dehidrasi yang berpotensi besar terjadi di cuaca ekstrim gurun.
Namun, makan dan minum dalam kondisi ini dilakukan dalam jumlah terbatas atau
secukupnya, bukan berlebihan. Buddhisme dan Protestantisme adalah agama yang tidak
mengajarkan penganutnya untuk berpuasa. Buddhisme hanya melarang penganutnya untuk
tidak makan berlebihan. Bahkan, para biksu hanya diperbolehkan makan sekali
dalam sehari. Sedangkan, Protestantisme menghapuskan tradisi berpuasa sejak Reformasi
sebagai tanggapan kritis terhadap kebiasaan orang Katolik yang berpesta
seminggu penuh dengan makan-minum sebanyak mungkin dan tidak bekerja sebelum
memasuki masa puasa 40 hari sebelum Paska (Doorn-Harder 2000).
Puasa dalam
Islam
Puasa merupakan rukun ke-4 yang diwajibkan untuk
dilakukan oleh Mu’min atau penganut Islam. Dalam Surat Al-Baqarah (2:186)
disebutkan bahwa orang-orang beriman, yaitu kaum Mu’min, diwajibkan berpuasa
sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum mereka agar bertaqwa.
Ketika menjalankan ibadah ini, mu’min haruslah menahan nafsu dan menjauhkan diri dari makanan, minuman,
hubungan seksual, dan berbuat yang jahat, baik itu melihat, mendengar,
membicarakan, maupun mencium (Gazalba 1985).
Larangan
untuk menikmati hal-hal yang telah disebutkan di atas selama beberapa waktu
didasarkan pada rukun puasa. Rukun itu terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 187
yang berbunyi demikian, ”... dan makan minumlah hingga terang bagimu benang
putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa itu sampai
malam, tetapi janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam
masjid” (Gazalba 1985).
Para pelaksana puasa
dalam Islam adalah setiap
orang Islam dewasa, baik perempuan maupun pria, yang telah melewati akil baligh, sehat jasmani, berakal atau
tidak mengalami gangguan jiwa, dan tidak tengah melakukan perjalanan jauh yang
melelahkan. Sebagai catatan, bagi mu’min yang sedang mengalami menstruasi,
sakit, atau tengah melakukan perjalanan jauh dipantangkan untuk berpuasa.
Mereka dapat melakukannya pada hari-hari lain untuk menggantikan waktu yang
telah lewat ketika kondisi telah memungkinkan (Gazalba
1985).
Selama
berpuasa sejak subuh hingga maghrib, Mu’min melakukan kegiatan-kegiatan agama
yang lain. Pada malam pertama bulan Ramadhan, mereka meniatkan akan berpuasa
esok harinya. Menjelang waktu subuh, makanan dan minuman disantap sebagai
“modal” bagi tubuh untuk bertahan tanpa kedua hal itu selama lebih dari 12 jam.
Setelah salat Subuh, pembacaan Al-quran dilakukan sekuat kesanggupan. Al-quran
kembali dibaca setelah salat Dzuhur dan Asar. Ibadah terakhir adalah berbuka
puasa dan melaksanakan salat
Tarawih (Gazalba 1985).
Terdapat berbagai macam puasa di dalam ajaran Islam.
Macam ini dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu ‘puasa wajib’ dan ‘puasa
sunnah’ (Gazalba 1985). Macam puasa yang
dikelompokkan ke dalam jenis wajib adalah fardhu
yang dijalankan di bulan Ramadhan, qadha yang
dilakukan pada waktu lain karena telah tidak berpuasa di Bulan Suci, nazar yang dijalankan karena janji untuk
mendekatkan diri kepada Allah, dan kaffarat
atau puasa yang harus dilakukan karena melanggar Hukum Islam. Sedangkan puasa
di 6 hari Syawal, di hari Arafah, asy-Syura,
di pertengahan bulan Sya’ban, di hari Senin dan Kamis, di tanggal-tanggal bulan
purnama, dan model Nabi Daud dikelompokkan ke
dalam puasa sunnah (Dzuhayatin 2000).
Hablu minna Allah
Seperti
yang telah disinggung pada bagian pendahuluan bahwa puasa, sebagai salah satu
ibadah dalam Islam yang otrhopraksis itu, pastilah memiliki makna dalam
hubungan secara pribadi antara yang menjalankan dengan Allah dan antara yang
menjalankan dengan sesamanya manusia. Pada bagian ini akan diperlihatkan
penemuan penulis akan makna luhur puasa dalam hubungan antara yang melaksanakan
dengan Allah. Dalam sebuah Hadits Qudsi disebutkan bahwa semua amal seorang
manusia adalah untuk dirinya sendiri, kecuali puasa, sebab puasa itu adalah
untuk Allah. Ia yang akan memberikan pahala (Majid
1995).
Berdasarkan hadits tersebut, puasa dipahami sebagai ibadah
yang sifatnya privat. Tidak ada orang lain yang mengetahui dengan pasti apakah
sesamanya tengah berpuasa atau tidak. Kalau pun orang lain mengetahui, batas
pengetahuan itu tidak mencakup apakah ibadah tersebut dilaksanakan dengan
keikhlasan dalam hati atau tidak. Dengan kata lain, seperti yang dikatakan oleh
Nurcolish Majid, puasa sejati dan yang palsu hanyalah dibedakan oleh seteguk
air yang diminum oleh seseorang yang tengah berpuasa ketika ia sendirian (Majid
1995).
Implikasi dari hubungan pribadi ini adalah kesadaran bahwa
Allah itu adalah Tuhan yang Maha Hadir. Ia tidak pernah lengah sedikit pun
dalam pengawasan terhadap hamba-Nya. Kesadaran seperti ini akan menuntun mu’min
yang menjalankan puasa kepada ketaqwaan kepada Allah dalam setiap hela
nafasnya. Ia akan bertindak dalam keadaan apapun dengan penuh kehati-hatian dan
kesungguhan karena menyadari setiap perbuatan itu akan dipertanggungjawabkan
secara pribadi di depan pengadilan-Nya ketika Hari Kiamat tiba (Majid 1995).
Berbeda dengan penafsiran Majid, di dalam bukunya yang
berjudul Tuhan pun Berpuasa, Emha
Ainun Najib menekankan bahwa hubungan pribadi antara mu’min yang berpuasa
dengan Allah juga meliputi soal penguasaan diri. Puasa melatih manusia untuk
bermental baja dalam menahan godaan karena masih banyak hal luhur dalam hidup
ini daripada sekadar makanan, minuman, dan seks yang harus dicapai manusia.
Dengan kata lain, ibadah ini melatih yang menjalankannya untuk dapat
menaklukkan kesenangan yang sering kali menjerumuskan manusia kepada dosa dan
penyesalan (Najib 1997).
Hablu minn an Naas
Puasa diikuti oleh anjuran untuk
berbuat baik sebanyak mungkin kepada sesama manusia. Hal ini terlihat dalam
pemberian sedekah, zakat ,dan infaq. Ketiga jenis pemberian ini
diperuntukkan bagi fakir miskin dan yang berada dalam kehidupan hidup[1],
mereka yang terbeban karena hutang dan yang terlantar dalam perjalanan. Ini
adalah sebuah tindakan solidaritas sosial yang bertujuan untuk meringankan
beban hidup mereka dan kaum marjinal ini dapat mencicipi sedikit kenikmatan dan
kebahagian yang tengah dirasakan sesamanya yang berpuasa dan berhari raya Idul
Fitri dalam kelebihan (Majid 1995).
Lebih jauh daripada itu, Najib
memaknai puasa sebagai metode untuk belajar menyukai suatu hal yang sebenarnya
tidak manusia suka untuk lakukan. Bukankah manusia tidak suka bila ia dibatasi
untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, misalnya makan, minum, berhubungan seks,
dll? Apakah manusia rela hati membagikan hasil keringatnya yang didapatkan
dengan berjerih lelah kepada sesamanya yang membutuhkan? Kalau manusia hanya
melakukan hal-hal yang ia senangi, maka kewajiban-kewajiban sosial semacam itu
sangat kecil kemungkinannya untuk dilakukan. Dengan demikian, puasa merupakan
cara Allah untuk mendorong manusia menatalayani kehidupannya di bumi bersama
dengan manusia lain demi terciptanya kehidupan yang lebih baik, adil, dan
berbelarasa.
Kesimpulan
Puasa merupakan kegiatan keagaaman
tertua yang dilakukan oleh manusia. Selain dalam Islam, upaya untuk menahan
hawa nafsu diri ini juga dapat ditemukan di dalam agama-agama lain yang muncul
sebelum dan sesudah Muhammad berkarya di dunia ini. Tujuannya berbagai macam,
misalnya dapat mendekatkan diri kepada Tuhan atau digubris oleh-Nya dengan berkat-berkat.
Dalam ajaran Islam, Puasa dilakukan
di Bulan Suci Ramadhan. Selama kurang-lebih 30 hari, mereka berjuang melawan
nafsu manusiawi sejak matahari belum terbit di ufuk timur hingga kembali ke
peraduannya di ufuk barat. Dalam kurun waktu belasan jam itu, makanan dan
minuman, hubungan seksual, dan tindakan yang jahat diharamkan. Bahkan,
diniatkan untuk melakukannya pun tidak diperkenankan. Oleh karena itu,
dianjurkan untuk memperbanyak pembacaan Kitab Suci dan mendirikan salat. Tujuannya
adalah dapat semakin mendekatkan diri kepada Tuhan.
Selain tujuan mencapai kedekatan
non-spasial dengan Sang Pencipta itu, ternyata puasa bertujuan untuk
mendekatkan diri si pelakunya dengan sesama manusia. Ketika menjalankan ibadah
ini, mereka dianjurkan untuk berbuat baik sebanyak mungkin. Zakat, sedekah, dan infaq diberikan kepada kaum dhuafa yang membutuhkan uluran tangan.
Harapannya adalah orang-orang yang termiskinkan ini dapat mencicipi sedikit
nikmat dan kebahagiaan berpuasa yang diakhiri dengan Hari Raya Idul Fitri.
Dengan demikian, puasa juga memiliki dampak positif bagi kehidupan sosial.
Puasa masih sangat relevan untuk
dilakukan di abad ke-21 ini. Seperti yang dikatakan oleh para filsuf Mazhab
Frankfurt, misalnya Herbert Marcuse, modernitas yang memajukan peradaban
manusia di abad ini juga sekaligus menyebabkan berbagai kemunduran, misalnya
dalam hal etika dan moral. Pada zaman
ini, kesadaran individual manusia semakin tumbuh seiring dengan meningginya
kepercayaan diri untuk dapat menaklukan alam dengan pengetahuan ilmiah yang
dimiliki. Hal ini bermuara pada egoisme akut arogan yang merasa diri mampu
hidup tanpa sesamanya. Parahnya, materialisme dan objektifisme mengekor dalam
sikap segregatif ini. Manusia mempedulikan dan menghormati sesamanya jika mereka
memiliki “nilai” yang menguntungkan dirinya dengan agenda eksploitasi. Homo homini economicus (Gaut 2010)!
Kemiskinan dan penderitaan muncul di berbagai tempat sebagai konsekuensi sikap
demonis ini. Kehadiran puasa yang dimaknai dengan semangat berbagi dalam rangka
menatalayani kehidupan yang telah diberikan oleh Allah merupakan obat mujarab
bagi penyakit sosial yang kronis ini. Melalui ibadah ini, manusia didorong
untuk berani melepaskan diri dari ikatan nafsu yang cenderung tamak, possesif,
dan egois itu. Kelepasan dari ikatan itu merupakan awal untuk dapat berbelarasa
dengan kaum marjinal yang termiskinkan oleh struktur yang dibangun sesamanya.
Bahkan, lebih jauh daripada itu, ini juga merupakan dasar teologi liberatif
yang menempatkan manusia di sisi kaum marjinal untuk membela hak azasi mereka yang
telah dirampas.
Lantas bagaimana dengan Gereja?
Apakah Tubuh Kristus di Indonesia telah menyadari eksistensi dan panggilannya
di negara ini, yaitu untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah dengan
pertolongan Roh Kudus dalam rangka menjalankan misi Allah? Tanda-tanda Kerajaan
Allah yang dimaksud bukanlah sebuah kondisi dunia yang homogen dalam hal agama,
melainkan keadaan bumi yang indah akibat ditegakkannya keadilan, perdamaian,
cinta kasih, kesetaraan, dan sukacita. Apakah isi khotbah para pendeta hanyalah
soal berkat Tuhan dan keselamatan dari dosa yang cenderung egois dan eksklusif,
alih-alih ajakan untuk bersolidaritas dengan sesama seperti yang telah
dilakukan oleh Yesus? Gereja haruslah membangun sebuah spiritualitas sosial
sebagai ungkapan persahabatan dengan manusia dan juga alam yang didasarkan pada
Alkitab dan Tradisi Kekristenan.
Daftar Acuan
Doorn-Harder, Pieternella van. "Puasa: Doa dengan
Tubuh." dalam Lima Titik Temu
Agama-agama, disunting
oleh Pieternella van Doorn-Harder, Kees de Jong and Djaka
Soetapa, 137-150. Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 2000.
Dzuhayatin, Siti Ruhaini. "Hakekat dan Hikmah Puasa
dalam Islam." dalam Lima Titik Temu
Agama-agama, disunting
oleh Pieternella van Doorn-Harder, Kees de Jong and Djaka
Soetapa, 151-155. Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 2000.
Gaut, Willy. Filsafat Postmodernisme: Jean-Francois Lyotard. Maumere:
Ledalero, 2010.
Gazalba, Sidi. Asas Agama Islam. Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1985.
Majid, Nurcholish. "Penghayatan Makna Ibadah Puasa
Sebagai Pendidikan Tentang Kesucian serta Tanggungjawab Pribadi dan
Kemasyarakatan." dalam Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah, disunting oleh Budhy Munawar-Rachman, 413-421. Jakarta: Paramadina, 1995.
Najib, Emha Ainun. Tuhan pun Berpuasa. Yogyakarta: Zaituna, 1997.
[1] Dalam masyarakat modern, kaum
marjinal yang termiskinkan akibat struktur juga dapat dikategorikan ke dalam
kelompok ini.